Kasus pelecehan seksual yang terjadi beberapa waktu lalu terhadap anggota KPI membuka mata bahwa pelecehan juga terjadi di dunia media, termasuk kasus kekerasan terhadap jurnalis. Dunia jurnalisme, terutama jurnalisme investigatif dan hard news, merupakan dunia maskulin yang identik dengan kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Kekerasan terhadap Jurnalis dalam Angka
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melakukan riset pada akhir tahun 2020 untuk melihat kekerasan seksual yang terjadi para jurnalis. Dari kuesioner yang diisi oleh 34 responden – 31 perempuan dan tiga laki-laki – terkuak bahwa 85% (25 orang) diantaranya pernah mengalami kekerasan seksual, bahkan satu orang bisa mengalami lebih dari satu jenis kekerasan seksual.
Temuan ini tidak jauh beda dari hasil riset yang dilakukan oleh the International Center of Journalists dan UNESCO. Riset mereka terhadap 714 jurnalis perempuan di 113 negara pada akhir tahun 2020 lalu menunjukkan hampir 75% jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan siber yang termasuk pelecehan seksual.
Kekerasan siber yang diantaranya terjadi di media sosial ini bahkan dapat berujung pada pembunuhan.
Apa saja ancaman siber yang dialami jurnalis perempuan?
Ada tiga jenis ancaman siber yang dialami oleh jurnalis perempuan, yaitu
- Pelecehan dan kekerasan misoginistik
- Kampanye kotor atau disinformasi yang mengeksploitasi naratif misoginistik
- Serangan privasi dan keamanan digital yang meningkatkan resiko fisik yang berhubungan dengan kekerasan siber
Ketiganya berujung pada tujuan yang sama; merusak reputasi jurnalis perempuan dengan merendahkan kredibilitas dan mempermalukan mereka, serta mengurangi jurnalisme yang mengkritik.
Bagaimana kekerasan misoginis yang dialami jurnalis perempuan?
Kekerasan misoginis yang dialami jurnalis perempuan diantaranya ancaman kekerasan seksual, perkosaan, dan pembunuhan, termasuk ancaman pada putri, saudara perempuan, atau ibu mereka. Jenis lainnya adalah kata-kata kasar dan hinaan terhadap penampilan dan profesi mereka untuk menurunkan percaya diri.
Secara langsung (offline), kekerasan misoginistik pernah dialami reporter CTV Kanada, Krista Sharpe, saat sedang syuting di Kitchener, Ontario. Seorang pria dalam sebuah mobil yang melintas meneriakinya dengan kata-kata kasar.
Apa bentuk kampanye kotor yang menyasar jurnalis perempuan?
Jurnalis perempuan juga kerap menjadi sasaran kampanye disinformasi digital, seperti menuduh bahwa mereka melakukan kesalahan profesi, menyebar hinaan tentang karakter mereka untuk merusak reputasinya, serta representasi yang penuh kebencian seperti menyebarkan video porno palsu, memes yang menghina, atau gambar yang dimanipulasi.
Jurnalis yang melakukan investigasi sering menghadapi ancaman penurunan privasi melalui malware, hacking akun media sosial, penyebaran informasi pribadi (doxing), dan penyamaran untuk mendapat informasi pribadi (spoofing).
Berkurangnya privasi ini memperbesar ancaman fisik bagi mereka karena diungkapnya identitas mereka seperti tempat tinggal, alamat kantor, dan pola pergerakan.
Maria Ressa: Penyintas Kekerasan terhadap Jurnalis
Beberapa jenis kekerasan siber itu pernah dialami Maria Ressa, CEO Rappler yang bulan Oktober lalu mendapat anugerah Nobel perdamaian. Sebagai jurnalis terkemuka yang tidak segan-segan menyuarakan kritik di bidang politik, Maria tidak luput dari tindakan tidak menyenangkan dari pihak-pihak yang tidak setuju dengannya.
Dia kerap menjadi sasaran ancaman perkosaan dan pembunuhan yang disampaikan secara siber, serta menjadi subyek kampanye tagar untuk mendiskreditkan dirinya dan Rappler. Tahun lalu Maria bahkan divonis bersalah atas tuduhan fitnah siber terhadap pemerintah Presiden Rodrigo Duterte.
Apa dampak kekerasan terhadap jurnalis bagi dunia jurnalisme?
Berbagai jenis kekerasan terhadap jurnalis perempuan ini memberi dampak negatif secara personal maupun sistemik terhadap dunia jurnalisme. Secara personal, jurnalis perempuan menjadi takut meliput di garis depan.
Demi keamanan, mereka terpaksa memilih untuk menghindari percakapan daring mengenai suatu isu, bahkan berhenti dari profesinya sebagai jurnalis.
Tanpa tindakan untuk menghentikan kekerasan terhadap jurnalis perempuan, maka jumlah jurnalis perempuan akan berkurang, sementara mereka yang tetap bertahan akan menurun kepercayaan dirinya untuk membahas hal-hal kritis secara daring.
Dengan berkurangnya jurnalis perempuan, ekosistem jurnalistik menjadi tidak sensitif gender, semakin bersifat maskulin dan tidak ramah perempuan.
Penulis: Sari Idayatni