“Para perempuan penyintas kekerasan di Papua hidup dalam trauma yang berkepanjangan, gangguan kesehatan reproduksi yang terganggu, sumber penghasilan ekonomi raib karena kesehatan fisik yang menurun, menjadi tuna wisma, dan mengalami diskriminasi seumur hidup akibat pelabelan simpatisan OPM,” – Zandra Mambrasar, Koordinator Divisi Perempuan ELSAM Papua (dikutip dari matamatapolitik).
Papua dan kekerasan yang terjadi padanya adalah deretan panjang folklor terabaikan. Isu-isu krusial menyangkut hajat hidup masyarakat Papua masih kental dengan diskriminasi. Mulai dari soal HAM, eksploitasi sumber daya alam, hingga minimnya politik afirmasi bagi warga asli Papua di ranah strategis ekonomi dan politik.
Tak berhenti sampai di situ saja, jika kita sudi menelaah lebih dalam, ketidakadilan, kekerasan, dan kejadian traumatis bukan hanya menghujam masyarakat Papua secara general, namun juga perempuan-perempuan Papua secara khusus. Seolah tak cukup menjadi korban kekerasan struktural, perempuan-perempuan di Papua ini juga mengalami kekerasan langsung di ranah privat mereka secara kultural. ‘Sakit’ yang mereka emban baik fisik maupun psikis tentu butuh perjuangan sendiri untuk disembuhkan.
Opresi turun temurun
Kekerasan politik dan pelanggaran HAM di tanah cendrawasih mulai terjadi sejak operasi militer 1952. Efek domino yang ditimbulkan pun mengacaukan perekonomian dan sosial budaya masyarakat asli Papua.
Menurut hasil penelitian Asia Justice Rights (AJAR) dan Papuan Women’s Working Group, 64 dari 170 perempuan asli Papua pernah mengalami kekerasan akibat kebijakan negara atau kekerasan yang dilakukan aparat negara. Penelitian dilakukan di Sorong, Biak, Jayapura, Keetom, Merauke dan Jayawijaya pada rentang 2013-2017.
Selviana Yolanda, salah seorang peneliti dari AJAR mengungkap, bentuk kekerasan yang dialami perempuan Papua tersebut antara lain penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, upaya penembakan, kekerasan seksual, suami atau keluarga yang hilang, dibunuh, kehilangan, atau perusakan harta benda. Lebih buruknya lagi, belum ada upaya konsisten dari negara dan masyarakat sipil untuk memulihkan dan memberdayakan korban akibat kekerasan negara dan pelanggaran HAM. ‘Labeling’ sebagai bagian dari OPM juga tersemat untuk mereka.
“Perempuan-perempuan yang mengalami penyiksaan, kekerasan seksual yang kita temukan dari tahun 70-80 an atau yang anaknya ditembak, disiksa, dan sebagainya sampai sekarang masih hidup. Tetapi hidup dalam diskriminasi karena ada stigma yang melekat pada mereka. Ada pandangan-pandangan sosial bahwa mereka bukan bagian dari negara, pihak yang berseberangan,” kata Selviana.
Imbas kehilangan seorang anak karena penembakan oleh aparat juga menimpa Mama Douw, ibu dari Pius Youw (19). Ia tak pernah menyangka, 9 Desember 2014 menjadi hari paling kelam di hidupnya.
“Hati saya sedih, anak laki-laki satu-satunya ditembak mati seperti binatang,” tutur Mama Douw.
Hari itu pun dikenang sebagai Tragedi Paniai. Empat orang pemuda berusia 17-18 tahun tewas ditembak dan 21 lainnya luka-luka akibat dianiaya.
Kasus yang dialami Mama Douw dan putranya tersebut memang agak berbeda. Keempat korban penembakan, yakni Pius Youw, Apinus Octovia Gobay, Yulian Yeimo, dan Simon Degey, merupakan anak laki-laki tunggal dalam keluarga masing-masing.
Menurut Yones Douw, Koordinator Monitoring dan Investigasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia dari Departemen Keadilan dan Perdamaian Gereja Kingmi di tanah cendrawasih, sesuai pandangan budaya setempat, ketika anak laki-laki tunggal dalam keluarga mangkat, walhasil penerus marga/fam sudah tidak ada lagi.
“Ini menjadi siksaan seumur hidup bagi mama-mama yang melahirkan mereka, sebab sesuai tradisi, mereka dianggap sebagai perempuan yang tak berguna lagi,” imbuhnya, dikutip Elsam.
Empat hari berselang setelah tragedi penembakan, tak kunjung ada keadilan yang didapatkan Mama Douw dan keluarga korban.
Ketidakadilan seolah jadi hal yang tak pernah absen dari hidup masyarakat Papua, juga untuk para perempuannya.
Yang terbaru, pada 28 Agustus 2019, aksi protes atas tindakan rasialisme di Surabaya dan situasi di Nduga, Papua, pecah. Semua anak asrama-asrama Papua ikut demo tanpa terkecuali, Arina Elopere Gwijangge, seorang perempuan Papua dan mahasiswa Sekolah Tinggi Theologi Jaffray.
Aksi protes berlangsung di depan Istana Merdeka dengan pidato dan tuntutan pada pemerintah Indonesia agar menghukum pelaku rasialisme di Surabaya.
Tiga hari kemudian, Arina dengan seorang kawan dan adiknya ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya.
Singkat cerita, dia didakwa dengan tindakan makar. Arina dituduh memegang bendera Bintang Kejora dengan bukti video.
Pada 24 April 2020, sidang putusan Arina dan kawan-kawannya dilaksanakan secara online. Arina dan kawan-kawannya dinyatakan bersalah dengan vonis 8 sampai 9 bulan penjara.
Beberapa organisasi hak asasi manusia, termasuk Amnesty International Indonesia dan Human Rights Watch menyebut keputusan itu tidak adil, sebab Arina dan kelima tapol Papua hanya menyampaikan pendapat dengan damai.
Sebuah upaya lain untuk membungkam kembali dilanggengkan.
Kekerasan domestik yang fatik
Menurut siaran pers Komnas Perempuan pada 2019, korban konflik khususnya perempuan Papua hingga saat ini belum dipulihkan. Juga, tidak ada upaya untuk meminta pertanggungjawaban pelaku.
Minimnya perlindungan bagi perempuan pembela HAM, menyebabkan timbulnya stigma separatis yang menghalangi hak sipil dan politik. Hal ini akhirnya berdampak buruk pada hak, integritas dan ruang gerak para penggiat HAM.
Lebih sedihnya, konflik kekerasan yang dialami perempuan Papua tidak hanya dilakukan oleh negara, tapi juga menimpa mereka dalam ranah domestik.
“Setiap hari mama bangun jam 3 pagi, masak dan taruh makanan di atas meja, langsung ke pasar (untuk) jualan. Pulang dari pasar, suami paksa berhubungan badan. Biar mama cape tapi ikut saja, kalau tidak, nanti mama dapat pukul,” keluh mama Orpa.
Narasi ini mungkin sudah sering kita dengar dan terjadi juga di lingkungan sekitar kita. Di Papua, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak cukup tinggi. Namun dari sekian banyak kasus, hanya sekitar 10 persen yang sampai pada proses hukum.
Mayoritas yang terjadi adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pemerkosaan.
Berdasarkan data dari Pelayanan Terpadu Perlindungan Anak (P2TPA) Provinsi Papua, pada 2015 ada 314 kasus kekerasan yang terjadi.
Menurut Anna Serpara, Ketua Pusat P2TPA Papua, secara umum kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di rumah tangga. Para suami melakukan pemukulan terhadap istri akibat berbagai hal, seperti mabuk dan masalah keluarga.
Tak hanya KDRT, menurut pihak kepolisian, kasus pemerkosaan paling tinggi juga terjadi pada 2016 di provinsi Papua. Di Merauke ada 97 kasus, kemudian kedua Timika dan selanjutnya di Jayapura.
Bahkan penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (LIPTEK) Papua menunjukkan, tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Papua semakin meningkat.
Ketua Liptek, Marlina Flassy, mengungkap, pada 2017, tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan di Papua tercatat ada 98 kasus.
Angka ini melonjak jauh pada 2018 menjadi 331 kasus dilakukan oleh laki-laki dan 219 oleh perempuan. Penelitian dilakukan selama tiga bulan, September-Desember 2018 dengan total 480 responden tersebar di Kabupaten Nabire, Asmat, Jayawijaya, dan Kota Jayapura.
Marlina mengatakan, penelitian lembaganya juga menemukan kasus para suami yang menganiaya istri karena tidak diberi uang untuk membeli minuman keras.
Selain itu, kekerasan dipicu dari pemahaman bahwa istri tidak berpendidikan sehingga tak mampu memberikan kontribusi berkaitan dengan kemajuan rumah tangga. Selama ini, kata Marlina, sering kali kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan ini hampir tidak pernah tuntas secara hukum.
“Hal itu terbukti sebagian besar kasus kekerasan terhadap perempuan, istri, itu diselesaikan melalui cara kekeluargaan. Sementara, sebagian kecilnya diselesaikan dengan jalur kepolisian dan adat istiadat,” ujar Marlina.
Kasus kekerasan terhadap perempuan Papua seakan tidak pernah menemui solusi. Setelah diselesaikan melalui cara kekeluargaan, biasanya suami tersebut mengulangi aksi kekerasannya lagi. Hal ini membuat istri menjadi pasrah dan hanya bisa menerima keadaan.
Sudah sepatutnya, narasi perempuan atas kegelisahan yang menindasnya perlu digaungkan. Karena membiarkan mereka berjuang sendiri dalam melakukan perlawanan juga bentuk pelanggengan terhadap kekerasan itu sendiri.
Sumber:
https://jubi.co.id/menguak-wajah-kekerasan-terhadap-perempuan-papua/
https://www.matamatapolitik.com/nestapa-perempuan-papua-dan-mangkirnya-jokowi-editorial/
https://tirto.id/pemudi-papua-dihukum-makar-nasib-tapol-papua-maluku-di-indonesia-fmao
Ditulis oleh Okke Oscar
Foto oleh Vika Cartier