Sebagai upaya memperluas dukungan terhadap penolakan disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja, maka di Minggu (10/10/2020) diadakanlah NOBAR NOP #8 (Nongkrong Bareng Never Okay Project) yang bertajuk “Emergency Meeting: Cipta Kerja atau Cipta Sengsara?”
Dimoderatori oleh Alvin Nicola, NOBAR NOP #8 mengundang 3 narasumber ahli, yaitu
- Nabiyla Risfa Izzati (Dosen Hukum Ketenagakerjaan di Fakultas Hukum UGM)
- Andy Akbar (Program Deputy Director Trade Union Rights Centre)
- Vivi Widyawati (Perempuan Mahardhika)
NOBAR NOP #8 membahas Omnibus Law pada klaster ketenagakerjaan, yaitu mengenai keterkaitan antara liberalisasi tenaga kerja dan hak asasi manusia.
KENAPA HARUS PEDULI?
“Selama kita bukan pemberi kerja, atau entrepreneur, kita semua akan terdampak”, begitulah kalimat pembuka dari Nabila Risfa Izzati di NOBAR NOP #8. Menurut UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan, pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi disahkannya RUU Cipta Kerja ini akan berdampak bukan hanya kepada buruh, namun siapa saja yang bukan pemberi kerja. “Kita akan terdampak, kita akan terdampak sekarang, besok, bulan depan, atau tahun depan, tinggal tunggu waktunya aja. Jadi, sangat penting untuk semua kalangan aware terhadap hal ini karena akan berdampak pada hidup kita.” tegas Nabiyla
MASALAH-MASALAH DALAM KLASTER KETENAGAKERJAAN RUU CIPTA KERJA
Menurut Nabiyla, jika dilihat secara utuh dan konseptual, RUU Cipta Kerja disusun bertentangan dengan hakikat hukum ketenagakerjaan. Pada hakikatnya hukum ketenagakerjaan seharusnya melindungi pekerja, dimana negara bertugas untuk menjadi penyeimbang hubungan yang timpang antara pekerja dan pengusaha. Jika negara bersikap netral, maka secara tidak langsung, negara sedang melindungi pemberi kerja.
Jika dilihat pasal per pasal, maka setidaknya terdapat 5 masalah utama pada klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja, yaitu mengenai
- PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu)
RUU Cipta kerja tidak membahas mengenai batas waktu pengangkatan pekerja dengan status PKWT, atau sering kita sebut sebagai pekerja kontrak, menjadi pekerja tetap. Hal ini akan berimplikasi pada pekerja kontrak dapat diperpanjang berkali-kali tanpa batasan maksimum. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan pemberi kerja mengubah status pekerja sementara (PKWT) menjadi pekerja permanen (PKWTT). Jadi bisa saja sampai pensiun, seorang pekerja akan selalu menjadi pekerja kontrak.
Vivi menjelaskan bahwa, sistem kontrak membuat posisi pekerja menjadi lebih lemah dihadapan pemberi kerja. Sistem kontrak melanggengkan penindasan dan eksploitasi terhadap pekerja, khususnya perempuan. Seringkali buruh perempuan yang kontraknya habis mendekati waktu kelahirannya, maka kontraknya tidak akan diperpanjang.
- Upah minimum
Upah minimum tidak didasarkan atas kebutuhan hidup layak namun berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Sehingga jika kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan indonesia sedang turun, maka pasal ini membuka kemungkinan adanya penurunan upah minimum.
Padahal menurut Andy, ketentuan ini bukan hanya merugikan pekerja tapi juga negara. Dimana penurunan upah minimum kemudian akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat. Sehingga pasal ini tidak mendorong terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera.
Vivi menambahkan, upah yang rendah pun akan berdampak lebih besar kepada pekerja perempuan. Saat ini saja banyak pekerja perempuan yang harus memiliki pekerjaan sampingan agar kebutuhan mereka terpenuhi. Sehingga dalam 1 hari, pekerja perempuan bisa saja bekerja selama 16 jam. Hal ini dikarenakan Ia harus mengerjakan 8 jam di pekerjaan utamanya dan 8 jam kemudian untuk mengerjakan pekerjaan sampingannya. Waktu istirahat bagi pekerja perempuan pun menjadi sangat terbatas.
Selain itu pada pasal 88B juga disebutkan bahwa upah dihitung berdasarkan waktu dan hasil. Jika hal ini dilekatkan dengan sistem reproduksi perempuan, maka perempuan sangatlah dirugikan oleh pasal ini. Vivi menyatakan bahwa, “Jika perempuan hamil, maka ia akan mengambil cuti hamil dan melahirkan. Perempuan mempunyai hak untuk mengambil cuti-cuti reproduksi lain. Kalau upah dihitung berdasarkan waktu dan hasil, kemudian ketika Ia cuti maka Ia tidak akan mendapatkan upah yang seharusnya.”
- PHK
PHK pada UU 13/2008 dipandang sebagai sesuai yang harus diupayakan untuk tidak dilakukan. Namun, di RUU Cipta Kerja PHK boleh dilakukan asal terdapat kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja. Akan tetapi, masih ada masalah terkait ketimpangan relasi antara pekerja dan pemberi kerja yang tidak setara. Sehingga seharusnya negara menjadi pihak ketiga yang dapat melindungi pekerja, bukan menjadi pihak yang netral diantara pekerja dan pemberi kerja.
- Pesangon
Pada UU 13/2003 ditetapkan jumlah minimum pemberian pesangon, namun pada RUU Cipta kerja hanyalah ditetapkan jumlah batas maksimum pemberian pesangon. Sehingga RUU Cipta Kerja tidak bisa memberikan perlindungan minimal kepada pekerja. Perusahaan pun menjadi bebas memberikan pesangon dengan jumlah sekecil apapun kepada pekerja.
- Outsourcing
RUU Cipta Kerja tidak membatasi pekerjaan-pekerjaan yang boleh dan tidak boleh memakai sistem outsourcing, hal ini lagi-lagi merupakan kemunduran dari UU 13/2003.
- Tidak terlindunginya pekerja di sektor informal
RUU Cipta Kerja hanya mengakomodir peraturan ketenagakerjaan di sektor formal saja. Untuk pekerja di sektor informal seperti pekerja rumah tangga, pekerja toko, dll tidak diatur dalam RUU Cipta Kerja.
SEJAK AWAL PEMBENTUKANNYA, RUU CIPTA KERJA TELAH MELANGGAR HAK DASAR DALAM BERDEMOKRASI
Menurut Vivi, proses pembentukan RUU Cipta Kerja sejak awal telah melanggar hak dasar dalam berdemokrasi, yaitu hak berpendapat. Ruang-ruang aspirasi rakyat yang seharusnya didengarkan oleh pemerintah, hal tersebut sama sekali tidak didengarkan. Sejak awal tahun 2019, sudah banyak kajian-kajian yang dilakukan oleh berbagai pihak yang mengkritisi RUU Cipta Kerja. Namun, tidak ada satupun yang didengarkan pemerintah, ruang aspirasi ditutup.
PEMERINTAH: “JR SAJA KALAU TIDAK SETUJU”
Perdebatan panjang mengenai RUU Cipta Kerja ini membuat pemerintah menghimbau masyarakat untuk melakukan judicial review (JR). Jika masyarakat tidak setuju dengan isi dari RUU Cipta Kerja, pemerintah menyarankan masyarakat untuk mengajukan JR.
Menanggapi hal tersebut Andy pun menyerukan kepada pemerintah, “Sedari awal kita tahu bahwa ini kualitasnya buruk, kenapa disahkan? Dan kenapa harus dipaksakan untuk JR? Jadi hal ini yang kemudian harusnya diperhatikan oleh pemerintah. Sebelum disahkan seharusnya pemerintah menyerap aspirasi dan mendengarkan pendapat dari elemen masyarakat.” Andy mengibaratkan hal tersebut seperti produk pabrik yang tidak lolos quality control namun tetap dipaksakan untuk dijual.
JR UU CIPTA KERJA BUKAN AKHIR PERJUANGAN
Omnibus law UU Cipta Kerja bukanlah peraturan yang berdiri sendiri. Namun, akan terdapat sekitar 40 peraturan pelaksana untuk memperjelas pasal-pasalnya. Jika Omnibus law UU Cipta Kerja berhasil dibatalkan melalui judicial review, peraturan pelaksananya tidak akan turut serta merta dibatalkan juga. Peraturan pelaksana tetap akan berjalan walau UU Cipta Kerja dibatalkan. Ini artinya akan banyak episode judicial review yang harus diperjuangkan oleh rakyat.
APA YANG SELANJUTNYA HARUS KITA LAKUKAN?
Ketiga narasumber berpendapat, bahwa saat ini bukan waktunya untuk berhenti berusaha. Semua orang di berbagai lini bisa melakukan sesuatu sesuai dengan perannya masing-masing, misalnya:
- Buruh tidak berhenti untuk berserikat
- Kalangan akademisi tidak berhenti mengkaji dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah:
- Mendorong executive review dan pembuatan peraturan presiden pengganti undang-undang, atau
- Bisa juga bantu memberikan dukungan kepada aksi pergerakan penolakan omnibus law dalam berbagai bentuk, bisa jadi bantuan dalam bentuk tenaga, dana, atau hanya sekedar mengerti dan memberikan dukungan di sosial media, dll.
Dilaporkan oleh Fildza Aisyantifa Kautsar