Veryanto Sitohang, Ketua Subkom Parmar Komnas Perempuan menuturkan bahwa kampanye 16HAKTP di tahun 2022 dan 2023 berfokus pada edukasi masyarakat tentang UU TPKS yang baru disahkan. Sejauh ini, dari 7 aturan turunan UU TPKS yang dijanjikan pemerintah, baru 3 yang disahkan. Komnas Perempuan mengupayakan kampanye via online hampir setiap hari. Kampanye offline dilakukan ke Lombok, Jember, Garut, Serang, Solo.
Yang dilakukan Komnas Perempuan:
- Pertemuan dengan masyarakat sipil untuk bahas pelayanan pendampingan perempuan korban kekerasan.
- Dialog dengan kepala daerah (Bupati, Walikota, Gubernur) untuk konsolidasi program dan melihat program apa saja yang sudah dilakukan di daerah. Apa yang dibutuhkan dan bisa dibantu Komnas Perempuan (kalau untuk dana, tidak dibantu dari Komnas Perempuan).
- Ketemu dengan Kepolisian (Kapolres, Polda).
- Media Gathering, karena media di daerah belum punya perspektif gender yang bagus. Biasanya lebih vulgar dan fokus pada identitas korban atau kronologi kejadian kekerasan.
- Lalu evaluasi internal di Komnas Perempuan untuk merumuskan strategi kampanye. Ada 15 komisioner dengan bidang keahliannya masing-masing.
Fokus:
- Kriminalisasi korban.
- Dalam ranah privat, KDRT. Kebijakan PKDRT juga masih ada digunakan untuk reviktimisasi korban.
- Dalam ranah publik, KBGO, yang porsinya sangat tinggi terjadi.
Jaminan Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan
Comparative advantage-nya IPAS, disampaikan oleh Marcia Soumokil, Direktur IPAS Indonesia, fokus pada penanganan kesehatan. Baik bagi korban kekerasan atau penyintas kekerasan seksual. Sejauh ini, dari Kemenkes sudah ada Pedoman Penanganan KtP/A (Perempuan & Anak), karena ada framework waktu yang sangat singkat di mana korban harus melapor dan mengakses layanan kesehatan (kontrasepsi darurat < 3-5 hari dan bukan bersifat aborsi; Post-exposure Prophylaxis (PEP) < 72 jam untuk pencegahan HIV; Vaksin Hepatitis B; Tes Kehamilan), dan yang sedang dikerjakan IPAS dengan Kemenkes: pedoman terminasi kehamilan/aborsi aman.
Untuk penanganan kesehatan di Indonesia sendiri, kekerasan fisik harusnya bisa diselesaikan di Puskesmas. Kalau lebih kompleks, bisa dirujuk. Tapi kalau kekerasan seksual yang bisa menyelesaikan adalah tim penanganan di RSUD. Tapi nggak semua daerah bisa memberi jaminan kesehatan (tidak tercover BPJS).
Untuk kesehatan mental, angka kasusnya semakin tahun semakin tinggi, tapi masih minim aksesnya juga karena belum tersedia di semua puskesmas. Banyak penyintas yang kasus hukumnya sudah selesai tapi dampak psikologisnya berlanjut. Yang sedang diupayakan adalah supaya trauma berkepanjangan juga diperhitungkan dalam penanganan dan BPJS bisa bayar.
Selama ini masih underreporting, karena ketika penyintas datang melapor, masih dicatat hanya dari kondisi fisiknya saja (dicatat sebagai sakit aja, bukan sebagai korban kekerasan). Itu bikin datanya jadi underreport untuk melihat berapa kasus kekerasan, seberapa besar dampaknya, dan berapa dana yang perlu dialokasikan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Jadi pointnya, bagaimana penyintas bisa menerima hak penanganan, terutama untuk pembiayaan untuk mengakses layanan kesehatan dengan timely access.
Sedangkan di UNFPA, Corry menyatakan sedang bekerjasama dengan BAPPENAS sedang menyusun policy brief supaya itung-itungannya seperti BPJS, melihat mana yang sudah didanai mana yang belum. Data Puskesmas tidak sinkron dengan Simfoni (PPA), jadi tidak terintegrasi untuk jadi data nasional. Di rumah sakit umum sudah ada PEP kit untuk penanganan kekerasan seksual. Kalau kontrasepsi darurat masih harus ditanggung sendiri oleh penyintas. Kontrasepsi yang ditanggung BKKBN hanya untuk pasangan usia subur yang menikah.
SESI DISKUSI & REFLEKSI
Apa saja isu kekerasan terhadap perempuan yang marak terjadi dalam setahun terakhir?
- Cak Fuh: Visum et repertum masih jadi kendala bagi korban.
- UNFPA: Community of Practice UNFPA, menyusun panduan content creator untuk mitigasi KBGO. Usia 15-21 itu sangat rentan terhadap KBGO.
- AwasKBGO: Lebih dari 100 aduan KBGO dalam 1 minggu terakhir. Dengan bertambahnya platform medsos, semakin banyak juga anak muda yang jadi korban, Sedangkan anak remaja sendiri belum tahu boundariesnya di dunia digital. Salah satu concern utama adalah terkait pap (post a picture) yang jadi alat untuk mengancam penyintas, especially anak muda (NCII).
- Mba Evie: Seringkali, guru atau orang tua juga tidak tahu harus melakukan apa ketika ada anak remaja yang jadi korban.
- JakartaFeminist: Femisida, di tahun lalu ada 190 kasus femisida yang mayoritas dilakukan oleh pasangan.
Apa saja yang sudah dilakukan komunitas maupun individu dalam kampanye 16HAKTP dua tahun terakhir?
Yang bisa ditingkatkan dari kampanye 16HAKTP 2023:
- Edukasi content creator (stand up comedian, influencers, dll.) agar konten yang dibentuk tidak mengandung unsur seksis atau victim-blaming.
- Moderasi konten, kerja sama dengan platform agar memperkuat tahap pencegahan kekerasan melalui media digital.
Masukan isu yang terluput/masih harus ditekankan:
- Ancaman bagi pendamping korban kekerasan.
- Untuk di luar konteks online, irisan kekerasan dan isu masyarakat adat, masih sangat tidak terjangkau.
- RUU PPRT.
- Kekerasan seksual di dunia media, di lokasi syuting, dsb.
Hasil brainstorming
Membahas pekerja informal itu sangat luas karena mencakup banyak sekali sektor kerja. Antara lain, Pekerja UMKM, Wirausaha, Pengusaha kuliner, PPRT; Pekerja mitra, Freelance, Pekerja harian, Buruh gendong; Entertainment, Content creator, Host live streaming.
Tapi saran Ibu Tias, pekerja informal sebaiknya tidak dikelompokkan lagi berdasarkan sektor supaya tidak ada diskriminasi, tidak mendahulukan sektor kerja informal tertentu. Misal, pemilik UMKM adalah pelaku usaha. Di bawahnya masih ada pekerja lagi yang ranahnya domestik.
Masukan juga dari Ibu Tias, kata baku baru yang digunakan untuk tema adalah “Pelindungan” tanpa r. Selain itu, term “Pengakuan” juga baik digunakan untuk menekankan bahwa pekerja informal juga harus diakui sebagai pekerja.
Permasalahan pertama, tidak ada institusi yang menaungi, dan tidak ada kerangka kebijakan yang melindungi. Meningkatnya tren pekerjaan sektor informal, tapi nggak didukung dengan legal standing. Kepmenaker 88 tahun 2023, turunan UU TPKS, sudah cukup komprehensif. Isinya:
- Perusahaan wajib mengatur kebijakan perusahaan,
- Edukasi dalam program orientasi, dan
- Membentuk Satuan Tugas.
Tapi kebijakan dari Kementerian Ketenagakerjaan ini masih kaku di sektor formal, dan implementasinya juga masih sangat minim, masih di perusahaan multinasional companies dan di kota-kota besar.
Jadi tidak semua industri atau perusahaan itu punya kebijakan yang rigid tentang penanganan dan pendampingan untuk korban kekerasan di tempat kerja. Penyintas yang mengalami kekerasan di saat sedang bekerja jadi bingung harus lapor ke mana. Ratifikasi Konvensi ILO 190 masih dinantikan supaya bisa menjadi payung yang turut menaungi pekerja informal.
Permasalahan kedua, minimnya edukasi berbagai stakeholder tentang hak pekerja informal. Pekerja informal itu sangat minim hak, tidak jarang pemberi kerja sengaja menyembunyikan informasi tentang hak yang akan mereka terima. Jadi, pekerja lepas rentan mengalami kekerasan, baik seksual, psikologis, ataupun ekonomi, dan tidak ada wadah yang menaunginya. Bahkan pekerja informal sendiri seringkali tidak mengenali haknya sebagai tenaga kerja. Harus ada peningkatan awareness ke pemberi kerja, ke penegak hukum, ke masyarakat, dan ke pekerja informal itu sendiri
Tema Besar 16HAKTP 2024:
Lindungi semua, penuhi hak korban, akhiri kekerasan terhadap perempuan
Hashtag:
#GerakBersama #PenuhiHakKorban #AkhiriSekarang