FGD Pengembangan Strategi Prioritas UN Women Indonesia dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan

Topik Kekerasan Berbasis Gender Online

Babak 1

  • Seberapa umum kasus kekerasan online terhadap perempuan di Indonesia?
  • Bagaimana dampak kasus kekerasan online terhadap perempuan?
  • Siapa kelompok yang paling rentan?

Kondisi

Berdasarkan data SAFEnet dari tahun 2018, angka kekerasan online terus meningkat setiap tahunnya. Ini dipengaruhi banyak faktor, salah satunya karena lebih banyak masyarakat yang berani melapor. Minimnya edukasi masyarakat akan hak-hak digital membuat masyarakat sendiri tidak tahu bahwa mereka sebetulnya dilindungi oleh instrumen hukum yang sudah ada dan sebetulnya bisa melapor atas kekerasan digital yang bentuknya spesifik.

Untuk konteks di dunia kerja, khususnya di kondisi pasca pandemi, semakin meningkatnya pekerjaan yang dilakukan secara hybrid atau daring jadi salah satu faktor meningkatnya KGBO di dunia kerja. Dalam survei tahun 2020 bersama SAFEnet, mayoritas korban pernah dilecehkan di lebih dari 2 teknologi komunikasi sekaligus dalam jangka waktu satu bulan WFH. Jadi bisa dibilang tidak ada teknologi komunikasi yang aman dari pelecehan seksual karena WFH cenderung mengaburkan sekat antara ranah profesional dan privat. Atasan yang jadi menghubungi lewat media sosial (atas dalih komunikasi online), menghubungi di luar jam kerja, dsb. Apalagi dengan munculnya tren bentuk2 kerja baru, seperti Host Live Tiktok, Live Shopee, Content creator, dsb., yang dihadapi kekerasan seksual saat bekerja tapi tidak ada wadah yang memastikan mereka bekerja dalam lingkungan yang aman.

Dampak

Dampak KBGO di dunia kerja beragam, dimulai dari ancaman tindakan, karena ancaman juga menimbulkan kerugian psikologis bagi pekerja, membuat pekerja tidak memiliki rasa aman di tempat kerja. Pekerja yang mengalami KBGO saat bekerja daring itu merasakan stres yang berlebih karena mereka jadi tidak merasa punya tempat aman. Seringkali mereka bekerja dari rumah. Tapi mereka mengalami kekerasan itu sendiri saat sedang di rumah. Karena minimnya pengetahuan akan hak digital membuat pekerja WFH kebingungan dia harus apa. Dari survei tahun 2020, 94% korban tidak melapor ke HRD karena tidak percaya HRD akan berpihak pada korban, ada yang takut diabaikan, takut tidak dipercaya, atau justru takut disalahkan dan memengaruhi karirnya.

Pelaku kekerasan berbasis gender online cenderung lebih banyak melakukan aksi di malam hari, khususnya dalam bentuk morphing dan NCII. Namun sejauh ini, belum ada penyedia layanan yang bisa standby memberikan bantuan 24 jam (konseling, dsb.). Sehingga pada kasus seperti itu, korban KBGO tidak mendapatkan penanganan langsung.

Kelompok Rentan

Dari hasil survei SAFEnet selama beberapa tahun, dan NOP juga, perempuan muda masih lebih banyak mengalami kekerasan online. Meskipun untuk saat ini, hasil riset SAFEnet belum bisa memastikan apakah perempuan di kota lebih rentan mengalami KBGO dibanding perempuan di daerah kecil atau sebaliknya. Logikanya, perempuan di desa-desa kecil mengalami KBGO lebih sedikit hanya karena akses internet dan teknologi komunikasi yang lebih kecil juga.

Pekerja di perusahaan yang mayoritas karyawannya adalah laki-laki lebih rentan mengalami kekerasan online. Pekerja dengan posisi/jabatan kerja yang lebih rendah cenderung lebih rentan mengalami kekerasan online. Mayoritas pelaku kekerasan seksual selama WFH merupakan atasan atau rekan kerja senior.

Kelompok LGBTQ+ juga menjadi kelompok yang sangat rentan mengalami kekerasan online yang lebih intens, membuat korban tidak memperoleh hak mengekspresikan diri di dunia digital sepenuhnya. Tidak jarang korban KBGO pada akhirnya memilih untuk tidak menggunakan platform digital tertentu sebagai akibat dari kekerasan yang dialaminya. Berdasarkan pengalaman tim CRM, dalam kepengurusan organisasi LGBTQ+ sekalipun, netizen cenderung tetap lebih menyerang perempuan queer dibanding laki-laki meskipun perempuan tersebut tidak memegang posisi jabatan tertinggi.

Selain itu, observasi tim Sejuk juga melihat adanya tren baru kekerasan online yang dilakukan terhadap anak remaja perempuan melalui game online yang memiliki fitur chat. Anak perempuan lebih rentan mengalami kekerasan verbal yang mengarah pada pelecehan, umumnya terjadi ketika user laki-laki kalah saat bermain. Rumitnya, banyak anak perempuan yang menghindari KBGO dengan menggunakan username nama laki-laki. Sehingga tidak bisa dipastikan apakah yang melontarkan kekerasan adalah anak laki-laki atau anak perempuan yang menggunakan username nama laki-laki.

Babak 2

  • Apa saja norma sosial di Indonesia yang justru memperparah kasus KBGO terhadap perempuan?
  • Apakah ada kebijakan di Indonesia yang jadi peluang untuk mencegah kekerasan online?

Norma Sosial

Salah satunya yang memandang perempuan sebagai sosok yang lebih lemah dan subordinat. Meskipun terdengar diulang2, tapi memang akar permasalahannya adalah dari budaya patriarki yang bercabang pada bias-bias gender.

Kaitan dengan tafsir agama yang menyatakan perempuan lebih dimuliakan. Sehingga apabila perempuan “tidak memuliakan” dirinya sendiri, maka perempuan tersebut dianggap “pantas” menerima kekerasan daring. Sebagai contoh, sosok beberapa publik figur yang melepas jilbab dianggap “pantas” untuk menerima hujatan dari masyarakat. Ini menyebabkan KtP khususnya KBGO lebih banyak dinormalisasi di tengah masyarakat.

Selain itu, istilah “perempuan selalu benar” nyatanya justru berbanding terbalik di masyakarat patriarkis yang selalu mencari kesalahan pihak perempuan dalam kasus-kasus kekerasan online. Dalam kasus-kasus perselingkuhan yang viral di media sosial, istilah “pelakor” selalu lebih sering terdengar dan pihak perempuan selalu lebih banyak menerima kekerasan online dalam bentuk doxing dan flaming.

Adanya rape culture yang masih kental di Indonesia, budaya victim blaming yang membuat korban seringkali enggan untuk mencari bantuan dan pelaku merasa tidak bersalah, sehingga korban KBGO tidak jarang mengalami reviktimisasi.

Untuk kasus di tempat kerja, relasi kuasa jadi faktor signifikan. Selain itu, adanya norma bahwa beban domestik hanya ditanggung oleh perempuan. Ibu yang bekerja harus berpikir kalau dia bekerja anak bayinya ditinggal di mana sama siapa, sampai rumah harus beres2 rumah lagi, padahal nggak tahu apa saja yang sudah perempuan itu alami di tempat kerja atau di perjalanan pergi dan pulang kerja. Bias gender di dunia kerja yang membuat perempuan pekerja harus menanggung beban ganda pekerjaan dan domestik, membuat perempuan lebih rentan mengalami kekerasan online, termasuk kekerasan psikologis dan ekonomi.

Kebijakan

Untuk konteks dunia kerja sendiri, tahun lalu Kemnaker sudah mengeluarkan Kepmenaker 88 tahun 2023 yang cukup komprehensif mengatur peran perusahaan dalam pencegahan. Antara lain, perusahaan wajib mengatur kebijakan perusahaan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja secara jelas dan rinci yang dituangkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Perusahaan perlu menyertakan informasi tentang kekerasan seksual (edukasi) dalam program orientasi, pelatihan, dan pendidikan pekerja. Perusahaan wajib membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan KS. Tinggal implementasinya saja yang masih sangat kurang untuk perusahaan di sektor-sektor tertentu.

Selain itu untuk KBGO di dunia kerja, Ratifikasi Konvensi ILO 190 bisa jadi peluang juga karena lebih spesifik mempertimbangkan hak pekerja terlepas dari sektor kerja (sektor formal maupun informal) dan relasi kerja (termasuk pekerja kontrak, magang, relawan, pekerja lepas, atau pekerja dalam training).

Sebagai payung hukum untuk technology-based violence, UU ITE sudah diperbaiki tapi belum bisa jadi pegangan seutuhnya karena masih dibutuhkan kebijakan-kebijakan turunannya. Selain itu, masih ada juga beberapa pasal karet yang masih bisa digunakan justru untuk menjerat korban, seperti pasal 27 ayat 1.

Untuk UU TPKS sendiri jadi instrumen yang baik untuk merespon kasus kekerasan seksual secara umum. Sejauh ini sudah ada 124 putusan pengadilan yang pakai UU TPKS. Sudah banyak yang masuk di untuk kasus KS, tinggal didorong ke KBGO. Perlu ada instrumen hukum yang secara spesifik menangani kasus KBGO, karena kondisi dan bentuknya serta cara penanganannya sangat berbeda dari KS secara langsung. Kebijakan turunannya harus dibuat melalui kerjasama dengan Kemendikbud, Kemnaker, KemenPPPA, dan lembaga terkait lainnya.

Babak 3

  • Apa saja yang sejauh ini sudah dilakukan, dan apa saja tantangan yang dihadapi dalam upaya pencegahan kekerasan online?
  • Bagaimana sejauh ini pendanaan bagi organisasi pendukung dan lembaga penyedia layanan?

Tantangan

Untuk pencegahan, yang dilakukan SAFEnet tentu banyaknya adalah kerja-kerja literasi. Karena dari organisasi sendiri yang bisa dilakukan hanya sejauh ini untuk pencegahan. PR besarnya justru ada di tangan penyedia platform untuk memperbaiki kebijakan dan fiturnya. Yang terjadi sejauh ini justru penyedia platform melaksanakan CSR-nya dengan memberikan pendanaan kepada organisasi-organisasi untuk melakukan edukasi terkait cara penggunaan platform, tapi tidak melakukan pencegahan dari sisi fitur platform.

Kalau TikTok kemarin sudah mengajak Sejuk untuk kerja sama, mencari keywords yang bisa disensor untuk menjaga environment digital yang lebih aman. Jadi ketika pengguna memberi comment yang mengandung keywords seperti kata “jelek” atau kata-kata ofensif lainnya, komentar akan otomatis terhapus. Meskipun pada akhirnya netizen tetap mencari cara lain untuk berkomentar tanpa menggunakan keywords secara langsung, tapi setidaknya lebih bisa diredam.

CRM juga melakukan pelatihan-pelatihan terkait safe & security dalam berdigital. Tapi hal tersebut percuma jika penyedia platform (Google, Meta, dll.) tidak melakukan tindakan apa-apa. Selain itu, yang perlu lebih banyak edukasi justru adalah tentang do’s and don’ts yang sifatnya lebih praktis, seperti tips mengubah password secsra rutin yang mudah diingat, dll., yang bisa secara langsung diterapkan masyarakat untuk menjaga hak digitalnya.

Never Okay Project melakukan capacity building di perusahaan-perusahaan. Tantangannya adalah untuk mereach out perusahaan dari berbagai sektor kerja. Sejauh ini kalau multinational companies biasanya punya awareness yang lebih baik tentang isu ini. Tantangannya adalah bagaimana kita masuk ke perusahaan lainnya, yang mayoritas laki-laki, dan yang sektor2 informal.

Pendanaan

Secara umum, sumber pendanaan untuk upaya pencegahan mayoritas berasal dari donor, selain itu juga dari dana swakelola, social contracting. Pendanaan dari pemerintah masih minim untuk isu ini.

Babak 4

  • Apa yang perlu dimasukkan sebagai prioritas dalam UN Women Indonesia Strategic Note mengenai pencegahan kekerasan terhadap perempuan?

UN Women bisa menjadi jembatan untuk memperkuat komunikasi dengan stakeholders, yakni pemerintah, penyedia platform (Meta, Google Indonesia, dll.), dan private sectors (perusahaan). Melanjutkan upaya advokasi kebijakan, antara lain Ratifikasi ILO Convention 190 serta pengawasan terhadap implementasi Kepmenaker 88 tahun 2023. Bisa bekerjasama dengan UNICEF untuk melakukan kampanye cara berdigital bagi anak-anak dan remaja perempuan, mengingat semakin tingginya penggunaan internet oleh anak dan remaja.

 

 

dilaporkan oleh Kevin – Never Okay Project

Kirim Komentar

*Please complete all fields correctly

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Artikel Lainnya