NOBAR NOP #9 (Nongkrong Bareng Never Okay Project) merupakan seri diskusi seputar pelecehan dan kekerasan seksual. Sesi ini mengangkat tema Sulitnya Korban Kekerasan Seksual Mengakses Keadilan. Minimnya pembahasan ataupun kasus yang terekspos media adalah alasan diangkatnya topik tersebut.
Dimoderasi oleh M. Firhat (Never Okay Project), NOBAR NOP #9 mengundang 3 narasumber, yaitu
- Justitia Avila Veda – Advokat Gender
- Ellen Kusuma – SAFEnet Awas KBGO!
- Alvin Nicola – Never Okay Project
Budaya Cancel Culture terhadap Penyintas Kekerasan Seksual di Indonesia
Dalam diskusi kali ini, para narasumber menjabarkan penyebab penyintas sulit mencari keadilan hukum. Mulai dari instrumen hukum yang tidak memadai, minimnya mindset progresif dari aparat, hingga reaksi negatif lingkungan sosial.
Berkaitan erat dengan pandangan misoginis dan budaya victim blaming, Ellen menggarisbawahi buruknya budaya cancel culture dan efeknya terhadap penyintas. Tingginya tingkat keingintahuan warganet menjadi poin krusial dalam hal ini.
Rasa kepo yang berlebihan, mendorong warganet untuk menggali sedalam-dalamnya histori penyintas yang bercerita di media sosial. Kira-kira, apa yang dilakukan warganet selanjutnya?
Prasangka terhadap korban diberikan, kemudian warganet menilai bahwa ini adalah karma bagi korban. Ellen dan Veda menitikberatkan perhatian mereka terkait ini. Penting untuk tidak mengaitkan histori korban dengan keadaan yang menimpa korban di masa sekarang. Justru kita harus bersimpati, berpihak pada korban.
“Kekerasan seksual adalah salah satu kekerasan yang paling sulit dibuktikan, paling sulit dicari keadilannya, dan kekerasan yang bisa abadi di kepala korban (trauma)”, tutur Ellen.
UU ITE: Menguntungkan Penyintas?
Justru sebaliknya, UU ITE ibarat pedang bermata dua. Alih-alih menguntungkan, pasal karet dalam UU ITE justru membahayakan posisi penyintas. Keberanian yang sudah dikumpulkan korban untuk bercerita di media sosial bisa pupus begitu saja. Mengapa hal ini terjadi?
Ellen mengingatkan sebelum menceritakan kejadian (spill the tea) di media sosial, korban harus siap dengan segala reaksi yang diberikan warganet. Mereka bisa terpicu untuk melakukan doxxing, dan berakhir terjerat Pasal 27 ayat 1 dan 3 terhadap penyintas.
Penting untuk menimbang keselamatan penyintas sebelum memutuskan untuk bercerita di media sosial. Doxxing tidak bisa dianggap remeh dan kemungkinan besar berakhir dengan cancel culture terhadap korban.
Baca juga: Laporan Data Kekerasan Dan Pelecehan Seksual Di Dunia Kerja Tahun 2018-2020
Peraturan mengenai Kekerasan Seksual di Indonesia
Dari diskusi-diskusi sebelumnya, pandangan terhadap pola pikir aparat penegak hukum yang tidak progresif sering disinggung. Kenyataan bahwa aparat hukum hanya “membaca hukum” tanpa “memahami hukum” diungkapkan oleh Veda.
Terbukti dari perilaku tidak sensitif gender berujung pada kekerasan struktural terhadap penyintas. Fakta ini berdampak pada rasa enggan dari korban untuk berjuang mendapatkan keadilan. Ini disebabkan oleh skeptisisme terhadap sistem yang ada dan sistem patriarki yang merugikan penyintas.
Alvin mengungkapkan pentingnya upaya untuk mereformasi sistem hukum, struktur budaya, dan substansi hukum. Indonesia perlu memiliki instrumen hukum yang memadai untuk menindak kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang bentuknya makin beragam. Ini karena temuan dalam proses penegakan hukum di lapangan justru merugikan korban. Sebagai contoh, “UU ITE yang sering digunakan untuk membungkam korban”, ujar Veda.
Veda menuturkan fakta menarik soal perbedaan aktivitas membuat konten dan aktivitas mendistribusikan konten tanpa konsen. Aparat hukum masih salah kaprah dalam menafsirkan hal ini, sehingga berujung pada bias dalam menindaklanjuti perkara pelecehan seksual.
Baca juga: Laporan Survei Pelecehan Seksual di Dunia Kerja Selama WfH
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Ketiga narasumber sepakat, bercerita mengenai kasus pelecehan seksual yang dialami tidaklah mudah bagi korban. Sebagai orang yang dipercaya korban, reaksi pertama adalah mempercayai korban. Perlu diingat untuk selalu mendapatkan persetujuan dari korban sebelum mengambil langkah selanjutnya.
Bagi para penyintas, sadari bahwa kalian tidak sendirian. Masih banyak orang yang peduli dan ingin bantu. “Jadi, jangan ragu untuk menghubungi orang-orang ini, dan percayalah bahwa ini akan segera berakhir meski memakan waktu lama,” ungkap Veda.
Perlu diketahui, Indonesia termasuk dalam 59 negara di dunia yang tidak memiliki legislasi yang berkaitan dengan perlindungan bagi para pekerja dari pelecehan seksual di tempat kerja.
Never Okay Project, bersama komunitas lainnya, sedang dan akan terus mendukung reformasi hukum agar lebih kuat. Kami percaya penyintas pelecehan dan kekerasan seksual berhak mendapat keadilan hukum
Simak obrolan selengkapnya di kanal YouTube kami!
Referensi:
Council on Foreign Relations. (n.d.). Women’s workplace equality index: Leveling the playing field. Council on Foreign Relations. Retrieved October 23, 2021, from <https://www.cfr.org/legal-barriers/>.
Jonesy. (2021, July 28). Tips ampuh anti misoginis-misoginis klub. Tips Agar Kita Tidak Menjadi Seorang yang Misoginis. Retrieved October 23, 2021, from <https://magdalene.co/story/tips-agar-kita-tidak-misoginis>.
Nair, S. (2019, November 3). International Harassment Regulations for Employers. business.com. Retrieved October 23, 2021, from <https://www.business.com/articles/international-metoo-hr-regulations/>.
Tim CNN Indonesia. (2021, September 24). Mengenal cancel culture, Ramai-Ramai memboikot Orang Lain. gaya hidup. Retrieved October 23, 2021, from <https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210924122432-277-698917/mengenal-cancel-culture-ramai-ramai-memboikot-orang-lain>.
Dilaporkan oleh: Sasmithaningtyas Prihasti
Disunting oleh: Muhammad Firhat