Nobar NOP #10 – Darurat Pelecehan Seksual di Dunia Kerja

nobar-nop-10

NOBAR NOP #10 (Nongkrong Bareng Never Okay Project) merupakan seri diskusi seputar pelecehan dan kekerasan seksual. Sesi ini mengangkat tema Darurat Pelecehan Seksual di Dunia Kerja. Minimnya pembahasan ataupun kasus yang terekspos media adalah alasan diangkatnya topik tersebut.

Dimoderasi oleh Fildza A.K. (Never Okay Project), NOBAR NOP #10 mengundang 3 narasumber, yaitu

  • Irine Wardhanie – Perwakilan Kompaks/ AJI Indonesia
  • Hartoyo – Perkumpulan Suara Kita
  • Muhammad Firhat – Never Okay Project

Baca juga: NOBAR NOP #9: Penyintas Kekerasan Seksual Sulit Mendapat Keadilan

Pelecehan Seksual di Dunia Kerja: Toxic Masculinity dan Normalisasi

Toxic masculinity yang berkembang di masyarakat membuat laki-laki yang menjadi penyintas lebih mengalami kesulitan untuk meminta pertolongan dibandingkan perempuan.

Fildza menuturkan, adanya stigma “mana mungkin laki-laki bisa menjadi korban pelecehan seksual?” membuat laki-laki menjadi takut untuk bercerita ke rekan kerja maupun keluarga mereka. Takut tidak dipercaya dan malu, tutur Fildza.

“Ah, gue kan cuma bercanda. Lo aja yang baperan.”

Pasti kalian pernah mendengar reaksi seperti di atas. Seringkali muncul ketika ada pihak yang menyatakan sikap tidak setuju atas perlakuan yang diberikan kepadanya.

Dalam diskusi kali ini, para narasumber sepakat bahwa budaya normalisasi perundungan sangat mengakar di Indonesia. Hartoyo membagi pengalaman pribadinya dalam membuktikan budaya perundungan terjadi di lingkungan terdekat, sekolah, hingga institusi negara.

Berkaitan erat dengan stereotip gender dalam lingkungan sosial, Hartoyo mengungkapkan kentalnya anggapan perundungan terhadap laki-laki feminim wajar untuk dilakukan. Perundungan bahkan dianggap sebagai proses pemulihan atau perbaikan terhadap laki-laki feminim tersebut supaya menjadi lebih maskulin/ macho.

Ketiga narasumber menyepakati anggapan ini harus dikikis dan perlunya pendidikan berperspektif gender netral di antara masyarakat Indonesia.

Kasus MS dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

Berkaca dari kasus BPJS di tahun 2017/2018, Irine menyampaikan kekhawatirannya terkait kasus yang menimpa MS. Tindakan pemanggilan dari KPI terhadap MS dan isi surat terbuka korban tidak luput dari bahasan Irine.

Irine berpendapat bahwa KPI yang notabene “lembaga pengatur moral publik”, nyatanya merupakan salah satu tempat yang paling tidak aman bagi semua gender (dalam dunia kerja).

Irine menegaskan, birokrasi rumit, senioritas tinggi sekali dan tidak ada komitmen yang jelas dari petinggi semakin melanggengkan budaya perundungan di lembaga negara. Tidak sedikit dari ASN yang ditempatkan di bidang yang tidak sesuai dengan posisi awal yang mereka lamar.

Jika menolak, ASN tersebut akan mengalami perundungan atau diceng-cengin, tutur Irine. Gayung bersambut, Firhat memaparkan data lapangan yang menunjukkan bahwa 10 persen tindakan pelecehan dan kekerasan seksual terjadi di lembaga negara. 

Baca juga: Laporan Data Kekerasan Dan Pelecehan Seksual Di Dunia Kerja Tahun 2018-2020

Perlunya Ratifikasi UU di Indonesia

Beragam bentuk pelecehan dan kekerasan seksual di dunia kerja di Indonesia belum bisa diakomodir dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan keadaan ini, Firhat menyampaikan pendapatnya mengenai Konvensi ILO 190 yang bisa dijadikan acuan dalam meratifikasi undang-undang.

KILO 190 mencakup definisi dunia kerja dan bentuk-bentuk pelecehan serta kekerasan di dalamnya. Tidak lupa, penjelasan mengenai pencegahan dan penanganan kasus pelecehan dan kekerasan di dunia kerja juga dijabarkan.

Berkaitan dengan itu, Firhat juga menyampaikan perihal tantangan di dunia kerja yang sangat merugikan korban. Poin penting yang harus diperhatikan adalah belum adanya mekanisme yang jelas terkait mitigasi kasus pelecehan dan kekerasan seksual di perusahaan. Berdampak pada perlakuan “ping-pong antar institusi” terhadap korban.

Firhat juga menyampaikan, pentingnya memperkuat mekanisme pengawasan berbasis sanksi. Salah satu poin dari beberapa rekomendasi dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kerja yang diungkap Firhat.

Karena menurutnya, “kekerasan seksual di dunia kerja sangat struktural, jadi penanganan juga harus struktural, di mana sosialisasi, regulasi, dan UU harus sinergis”.

Baca juga: Laporan Survei Pelecehan Seksual di Dunia Kerja Selama WfH

Lalu, Apa yang bisa dilakukan agar dapat perlindungan dari pelecehan dan kekerasan seksual?

Ketiga narasumber sepakat, terkait upaya mendapatkan perlindungan dari pelecehan dan kekerasan seksual, kita tidak bisa menunggu hingga UU diratifikasi atau RUU disahkan. Hartoyo menambahkan, hal ini bisa dimulai dari pengadaan SOP pencegahan penanganan dan sanksi berkaitan kekerasan berbasis gender maupun seksual di lembaga-lembaga negara.

Diungkap pula oleh Firhat, penting bagi pekerja untuk aktif mendesak perusahaan untuk segera membangun inisiatif anti kekerasan dan pelecehan seksual.

Tidak lupa, Fildza menyampaikan perihal pentingnya sosialisasi Permen No.1 Tahun 2000 tentang Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan.

Mengapa? Karena di dalamnya tercantum mengenai jenis-jenis kekerasan di dunia kerja. Bentuk-bentuk diskriminasi di dunia kerja. Serta mekanisme yang harus dilakukan perusahaan, jika terjadi pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kerja mereka.

Perlu diketahui, baru 6 sektor industri yang menerapkan hal tersebut, papar Fildza. Bahkan belum ada lembaga negara yang menerapkan Permen tersebut.

Ketiga narasumber juga mengingatkan, sebagai saksi penting untuk memahami kebutuhan korban. Sampai titik mana korban bersedia dibantu dalam memperjuangkan haknya mendapatkan keadilan. Perlu kembali diingat, proses panjang melelahkan yang harus dilalui korban bila sudah setuju untuk lanjut ke jalur hukum.

Never Okay Project, bersama komunitas lainnya, sedang dan akan terus mendukung reformasi hukum agar lebih kuat. Kami percaya, baik perempuan maupun laki-laki, berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan pelecehan dan kekerasan seksual.

Simak obrolan selengkapnya di kanal YouTube kami, ya!

 

Referensi:

Tim Admin. (2015, August 24). Stereotip gender. Koalisi Perempuan Indonesia. Diakses pada November 7, 2021, melalui <https://www.koalisiperempuan.or.id/2011/05/04/stereotip-gender/>. 

Tim Babyologist. (2019, April 11). Kesetaraan Gender Dalam Pengasuhan Anak. kumparan. Diakses pada November 7, 2021, melalui <https://kumparan.com/babyologist/kesetaraan-gender-dalam-pengasuhan-anak-1qrrcrRCKUH/4>. 

Salam, M. (2019, January 22). What is toxic masculinity? The New York Times. Diakses pada November 7, 2021, melalui <https://www.nytimes.com/2019/01/22/us/toxic-masculinity.html>.  


 Dilaporkan oleh: Sasmithaningtyas Prihasti

Kirim Komentar

*Please complete all fields correctly

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Artikel Lainnya

pelecehan-seksual-industri-media
kekerasan-seksual-keadilan