Pandangan untuk perempuan sebagai objek seksual yang malu-malu tapi mau harus dilawan dengan kencang. Karena pandangan itu yang menyulitkan untuk mempercayai korban pelecehan seksual.
Sosok Kevin Halim menarik perhatian kami saat ia menjadi salah satu pembicara di acara Seminar Kekerasan Seksual di Dunia Kerja yang diadakan oleh Perempuan Mahardhika dalam rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Tim Never Okay Project kemudian berkesempatan untuk berbincang dengan Kevin Halim, seorang transpuan berusia 27 tahun yang saat ini bekerja sebagai Trans Deputy Program untuk Gaya Warna Lentera Indonesia atau yang biasa disebut GWL INA. Sebelumnya Kevin juga pernah menjabat sebagai Programme Officer Kantor Regional Hivos Asia Tenggara untuk program Isean-Hivos. Sebelum bergabung dengan Hivos, Kevin adalah Program Officer Asia Pacific Transgender Network (2014-2016) dan UNV LGBT Human Rights Officer di UNDP Indonesia (2013-2014). Kevin menempuh pendidikan sarjana psikologi di Universitas Indonesia dan magister Sex, Gender and Violence di University of Aberdeen, Skotlandia.
Pekerjaan Kevin saat ini terfokus pada dua laporan terkait dengan kondisi komunitas transgender di Indonesia. Yang pertama adalah Guideline penerimaan orang tua dengan anak yang transgender dan yang kedua adalah dokumentasi kasus pembunuhan transgender di Indonesia. Kevin mengemukakan bahwa pentingnya penerimaan anak transgender dimana penerimaan yang paling utama adalah penerimaan keluarga. Penerimaan keluarga sebagian besar menjadi penentu keberhasilan anak transgender pada kehidupan sosial bermasyarakat. Karena pada umumnya teman-teman transgender adalah korban sistemik di Indonesia, keluarga lah yang pertama kali bisa membantu mempermudah urusan sistemik ini. Rasa aman dan nyaman yang dirasakan oleh anak transgender sendiri sangat penting, Kevin memiliki keberuntungan lebih karena orang tuanya menerimanya dan berdampak sangat positif ke kehidupannya. Oleh karena itu Kevin ingin teman-teman transgender lainnya merasakan aman dan nyamannya diterima oleh keluarga.
Sedangkan untuk laporan mengenai dokumentasi pembunuhan transgender di Indonesia, Kevin mengatakan bahwa buruknya pandangan atas nyawa transgender di Indonesia menyebabkan transphobic murder tidak dianggap nyata. Bukan hanya transphobic murder, misgender dan deadnaming para korban kekerasan dan pembunuhan pun dianggap sepele di Indonesia. Minimnya informasi mengenai data kekerasan dan pembunuhan yang dialami teman-teman transgender membuat miskonsepsi mengenai teman-teman transgender semakin buruk. Tidak hanya berfokus di kedua laporan tersebut, Kevin juga bekerja untuk isu persebaran HIV dan isu kemanusiaan lainnya.
Walau sekarang Kevin telah mendapatkan pekerjaan yang sangat cocok dan dapat membawa manfaat untuk dirinya dan orang banyak, Kevin juga pernah mendapatkan diskriminasi saat melamar pekerjaan dahulu. Pada masa transisinya, Kevin pernah melamar ke salah satu perusahaan namun ditolak dengan alasan perusahaan ingin menjaga citra perusahaan dengan tidak merekrut karyawan transgender. Diskriminasi semacam inilah yang membuat teman-teman transgender sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Diskriminasi ini juga berpengaruh terhadap berkembangnya stigma yang selalu melekatkan kata transgender dan Pekerja Seks (PS). Meski tentu berbeda ceritanya jika seseorang memilih menjadi PS atas dasar keinginan pribadi mereka. Kevin menyayangkan jika menjadi PS adalah satu-satunya pilihan yang dimiliki teman-teman transgender bertahan hidup, sehingga harus menjalaninya dengan keterpaksaan
Masuk ke dalam topik pelecehan seksual di tempat kerja, Kevin memiliki pandangan menarik mengenai isu ini. Kevin Kevin melihat bahwa secara general terdapat perbedaan pandangan dari orang-orang yang tidak menyadari bahwa perilakunya termasuk suatu bentuk pelecehan seksual. Pendidikan dan sosialisasi pada usia dini sangat mempengaruhi bagaimana seseorang berinteraksi. Di saat kebanyakan anak perempuan diajarkan untuk menjaga perilaku dan cara berpakaian untuk menghindari pelecehan seksual, kebanyakan anak laki-laki justru dididik untuk menjadi “penakluk”. Hal-hal seperti ini menyebabkan pola pikir yang salah, yakni pelecehan seksual terjadi karena perilaku dan gaya berpakaian korban. Disisi lain, ketika laki-laki dewasa menggoda perempuan, sering dianggap sukses menunjukkan suatu ciri maskulinitasnya.
Relasi kuasa sangat bermain dalam pelecehan seksual di tempat kerja. Segelintir laki-laki terkadang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkan. Bisa saja ia tidak mendapatkan apa yang dia mau saat itu juga, namun disaat lelaki tersebut tidak mendapatkan apa yang ia mau ia kemudian memanfaatkan kuasa yang ia miliki untuk mendapatkan hal tersebut. Disaat yang bersamaan, pada hubungan antara perempuan sendiri kerap ditemui persaingan antara perempuan. Menceritakan pelecehan yang dialami kepada teman perempuan terkadang sulit karena takut disalahkan dan karena ada unsur persaingan itu tadi.
Kevin menekankan bahwa pandangan untuk perempuan sebagai objek seksual yang malu-malu tapi mau harus dilawan dengan kencang. Karena pandangan itu yang menyulitkan untuk mempercayai korban pelecehan seksual.