Aku adalah gadis dengan tubuh besar seperti sebutan “bongsor” secara Jawa. Walaupun tidak besar-besar juga sih tapi lebih tinggi semampai sehingga mungkin bagi orang lain aku terlihat memiliki tubuh anak SMP akhir padahal aku masih SD saat itu. Kejadian ini terjadi saat aku masih berumur 12 tahun dimana saat itu aku masih kelas 6 Sekolah Dasar.
Sekolah Dasar merupakan masa dimana aku sudah dibiasakan untuk selalu mandiri termasuk dalam urusan “pulang” ke rumah. Sebenarnya, dulu aku selalu mengikuti antar-jemput di sekolah tetapi terkadang dikarenakan keterbatasan ekonomi keluarga aku lebih terbiasa pulang sendiri dan angkot menjadi pilihan satu-satunya yang bahkan sebelum naik angkot-pun aku harus berjalan kaki sekitar 10 menit dengan jalan naik-turun yang tergolong curam pada daerah perumahan dibelakang sekolahku menuju jalan besar hingga aku bisa mendapatkan angkot sesuai jalanku kerumah.
Pada salah satu hari besar di Indonesia terdapat perayaan yang salah satunya adalah upacara bendera bagi para siswa atau siswi di setiap sekolah dan hari tersebut termasuk hari yang menyenangkan bagiku dikarenakan setelah upacara bendera maka para siswa-siswi dapat pulang langsung ke rumah masing-masing. Dikarenakan hari besar maka pemukiman maupun jalan besar tergolong sepi karena masih tergolong pagi apalagi setelah upacara bendera. Aku menaiki angkot yang ternyata hanya aku sendirian disana. Saat itu aku masih merasa biasa saja dan tidak ada permasalahan karena ada ibu-ibu yang masuk kedalam angkot juga. tetapi permasalahan dimulai ketika ibu-ibu tersebut mulai turun dan hanya aku sendiri di angkot yang dimana jarak sekolah ke rumahku terhitung cukup jauh sehingga supir angkot tersebut menurunkanku dipinggir jalan raya yang masih tergolong lumayan sepi yang juga berdekatan dengan salah satu Sekolah Menengah Pertama dimana sekolah tersebut sedang libur sehingga kondisinya sangat sepi. Hal tersebut terjadi karena lokasi rumahku yang masih jauh dan penumpangnya hanya aku saja sehingga supir tersebut merasa tidak untung apalagi di pagi hari. Alasan itu sering terjadi di dunia per-angkutan. Tetapi hal tersebut dikatakan benar secara etika ketika penumpang tidak disuruh membayar dan akan menjadi menyebalkan ketika supir tersebut selain menyuruh kita turun tapi juga tetap menyuruh kita untuk membayar. Walaupun sebenarnya aku lupa saat itu aku disuruh membayar atau tidak hahaha.
Setelah disuruh turun oleh supir aku mulai menunggu angkutan lain didepan SMP yang kebetulan jalanan didepan SMP tersebut merupakan jalanan tanjakan dengan belokan pula (semoga bisa dibayangkan). Karena kondisi sepi aku tidak kunjung mendapatkan angkutan pengganti sehingga aku memutuskan jalan kaki sedikit demi sedikit di pinggiran tanjakan plus belakang jalan menuju ke arah rumah berharap selama jalan aku bisa mendapatkan angkutan disampingku sehingga semakin pendek jarak ke rumah semakin murah biaya angkutan tersebut hingga hal tak terduga terjadi.
Saat berjalan dipinggir jalan raya tersebut ada seorang bapak-bapak yang tidak kukenal menghampiriku disisi kanan lalu dia membujukku untuk ikut bersamanya dengan alasan ia akan mengantarkanku ke rumah. Aku berpikir segala kemungkinan dimana tawaran bapak ini memang meyakinkan tetapi aku masih ragu karena bapak ini bukan orang yang kukenal. Karena mungkin kelamaan mikir, tiba-tiba bapak tersebut membuka resleting celananya dan menunjukkan alat kelaminnya. Aku benar-benar kaget saat itu tapi aku berusaha tidak menunjukkan ekspresi saat itu. Bapak tersebut mengatakan bahwa bagian tubuh tersebut sedang sakit dan aku dibutuhkan olehnya untuk memijat atau memberi obat yang tidak kumengerti kepada alat kelaminnya dan ia terus menerus membujukku hingga tersirat paksaan dan disitu aku berpikir apakah benar bapaknya membutuhkan pertolongan karena wajah bapaknya yang memang pucat? Tapi saat aku melihat alat kelaminnya seperti tidak ada masalah yang membuatku harus membantunya.
Disaat aku terdiam dan terus berpikir, aku mulai tersadar akan situasi apa yang sedang terjadi lalu aku takut. Ya Tuhan. Saat itu aku benar-benar takut dan semua berlalu begitu cepat. Posisiku berada dipinggir jalan raya, memang masih ada beberapa kendaraan yang lalu-lalang tetapi apakah tidak ada yang melihat bahwa ada seorang bapak asing yang menunjukkan alat kelaminnya dihadapan anak yang berseragam merah putih? Ekspresiku benar-benar berubah dimana aku mulai terlihat kebingungan dan ketakutan. Disitu aku memikirkan segala cara agar bisa lari dari situasi ini. Aku mengeluarkan hape dan aku berpura-pura telepon ibuku dan mengatakan padanya posisiku saat ini sehingga ia bisa menjemputku walaupun semua itu benar-benar kebohongan yang aku usahakan. Walaupun aku takut dan aku tahu apa yang terjadi, aku masih tetap ijin kepada bapaknya bahwa aku akan segera dijemput oleh ibuku. Aku mengatakan dengan cepat dan berusaha jalan cepat menghindari bapaknya tersebut. Bapak itu sempat membujukku sekali lagi tetapi saat ia melihatku mulai menjauh ia juga mulai menyalakan motornya dan mulai meninggalkanku. Aku benar-benar menahan rasa takut tersebut hingga aku menemukan angkutan selanjutnya dan pulang kerumah tergesa-gesa karena aku tersadar bahwa aku baru saja terhindar dari kejadian penculikan.
Saat pulang kerumah, kedua orang tuaku ternyata menungguku. Bukannya tidak bisa menelepon beneran tetapi saat itu aku sedang tidak punya pulsa sehingga tidak dapat meminta untuk dijemput. Aku berlari dan memeluk ibuku. Menangis lama hingga aku menceritakan bahwa aku telah dilecehkan dan hampir saja diculik oleh orang asing, ayahku marah besar dan berusaha untuk mencari pelakunya tetapi ibuku mencegah karena memang orang tersebut telah menghilang dan yang paling penting akulah yang tidak mengingat apapun identitasnya bahkan aku sendiri yang menginginkan untuk tidak benar-benar menceritakan kasus ini ke siapapun karena aku benar-benar takut hingga rasa takut tersebut menjadi trauma yang tidak kumengerti.
Setaun kemudian aku berusaha mengatasi rasa traumaku dengan mencoba pulang ke rumah sendiri tetapi dengan hati-hati dan menghindari tempat atau lokasi sepi hingga aku merasa sudah terbiasa dan baik-baik saja. Bertahun-tahun aku menyalahkan tubuhku atas kejadian itu, karena kupikir tubuh inilah yang mengundang bapak tersebut untuk menculikku. Ternyata aku salah, pelecehan dan penculikan bisa terjadi kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun dengan kondisi tubuh apapun.
Diceritakan oleh DYA